Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya dengan aturan – aturan didalamnya yang harus dipatuhi oleh setiap warga Negara.
Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang
bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua
belah pihak
Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan anggota dari
sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan
pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin
memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider.
Pengertian mediasi menurut Priatna Abdurrasyid yaitu suatu proses damai di mana
para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator
(seseorang yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yg bersengketa)
untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar besar tetapi tetap
efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak
ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat. Sebagai salah satu
mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak masyarakat dan
diterapkan kepada berbagai kasus konflik.
Contoh Kasus
Pencurian satu buah
semangka oleh 2 warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri,
atas nama Basar dan Kholil yang didakwa melakukan tindak pidana pencurian
sebuah semangka milik tetangganya. Saat tertangkap semangka curian belum sempat
dimakan, proses hukum tetap dilanjutkan dan keduanya dijerat Pasal 362 KUHP
dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Kasus ini tidak hanya mendapatkan kecaman dari
masyarakat, Kejaksaan Negeri Kediri turut bersuara dengan menganggap kesalahan
terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan meminta dilakukannya
revisi.
Meski tindak pidana yang dilakukan Basar dan
Kholil secara materil dan formil telah memenuhi unsur pencurian dengan
melangagar Pasal 362 KUHP. Meski begitu penyelesaiannya semestinya dapat
dilakukan di tingkat kepolisian. Dengan mempertimbangkan
bobot perkara yang dianggap sangat rendah dan didukung dengan barang bukti yang
sangat sepele, semestinya penyelesaian dapat dilakukan atas dasar kemanusiaan.
Kasus ini dilanjut sampai pengadilan karena
kejaksaan tidak mungkin menolak limpahan berkas dari kepolisian. Apalagi tindak
pidananya memang sudah memenuhi unsur pelanggaran Pasal 362 KUHP. Untuk tindak
pidana yang dilakukan Basar dan Kholil dianggap sangat sepele karena nilai
barang curian yang terlalu kecil.
Pasal terkait pencurian dalam KUHP, dijelaskannya
pula hanya mengatur 2 kategori, yaitu pencurian ringan dan biasa. Kasus
Basar dan Kholil dikategorikan tindak pidana pencurian biasa karena
kerugian korban di atas Rp 250.
Kasus pencurian terhadap barang-barang yang tidak
berharga atau tindak pencurian ringan hendaknya dapat diselesaikan secara
kekeluargaan dengan rasa kemanusiaan dengan berlandaskan hukum adat, hal
tersebut senada dengan yang dikatakan Menteri Hukum dan Ham Patrialis Akbar.
Agar kasus pencurian terhadap barang-barang yang
tidak berharga atau tindak pencurian ringan jangan dilaporkan ke penyidik
hukum, tapi selesaikan secara kekeluargaan dengan rasa kemanusiaan dengan
berlandaskan hukum adat, kadang mereka melakukan pencurian hanya terpaksa,
seperti membiayai pengobatan keluarga yang sakit atau juga untuk biaya makan,
hukuman memang bermaksud memberi efek jera bagi pelaku tetapi bagi pelaku
pencuri ringan tidak harus berlama-lama di penjara. (Tempo Interaktif 03 Mei
2010).
https://id.wikipedia.org/wiki/Mediasi#Jenis_Mediasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar